hati yang lembut dalam jiwa yang tegar

by : usman

Tujuh Indikator Kebahagiaan Dunia

Berdasarkan riwayat dalam tafsir Ibnu Katsir, suatu saat Rasulullah SAW
bertemu dengan salah seorang sahabat yang kondisinya memprihatinkan sekali.
Saking miskinnya, Nabi SAW bertanya : Kenapa kamu mengalami kondisi seperti
ini ?Orang itu menjawab dengan penuh percaya diri : Ya Rasulullah, saya
miskin seperti ini justru karena doa sayah. Kemudian Nabi SAW bertanya
kembali : Kamu suka berdoa apa ? Saya suka berdoa begini: Ya Allah berilah
aku kemelaratan dunia dan jadikanlah kemelaratan dunia itu menjadi perahu
yang mengantarkan saya ke kebahagiaan akhirat. Jadi walaupun saya miskin
begini, saya bangga karena doa saya terkabulkan. Ya mudah-mudahan akhirat
ada digenggaman saya.

Mendengar jawaban itu Rasulullah SAW hanya berkomentar begini : Kamu mau
enggak aku tunjukkan doa yang lebih bagus ?Lalu kata Nabi SAW : Kenapa kamu
tidak berdoa begini : Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw wa fil aakhirati
hasanaw wa qinaa adzaaban naar.

Cerita di atas merupakan asal usul doa tersebut, sehingga di dalam Al Quran
surat Al-Baqarah ayat 201 ada kata-kata wa minhum yang artinya dan diantara
mereka ada yang berdoa rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw wa fil aakhirati
hasanaw wa qinaa eadzaaban naar. Pengertian wa minhum disini, selain ada
yang berdoa menurut Al-Quran tersebut, tersirat pula arti ada yang berdoa
tidak seperti itu, yaitu seperti orang yang ditanya Rasulullah SAW itu tadi.
Sebagian arti doa tersebut adalah: gYa Allah berilah kebahagiaan duniah.
Sesungguhnya kebahagiaan dunia itu adalah sebuah konsep. Yang menjadi
pertanyaan sekarang adalah, indikator kebahagiaan dunia itu apa ? Karena
masing-masing orang mempunyai pendapat yang berbeda tentang kebahagiaan
dunia, sehingga perlu ada kesepakatan mengenai arti dari kebahagiaan dunia
itu sendiri.

Di dalam sebuah tafsir, Ibnu Abbas (Salah seorang sahabat Nabi SAW yang
sangat telaten melayani Rasulullah SAW dan pernah didoakan Rasulullah SAW.
Selain itu pula pada saat sembilan tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan
telah menjadi imam di mesjid) ditanya oleh para Tabifin mengenai apa yang
dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator
kebahagiaan dunia, yaitu :

Pertama Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur. Jadi kalau kita
ingin bahagia di dunia, hati kita harus selalu mempunyai jiwa syukur,
artinya selalu menerima apa adanya. Apapun yang ada digenggaman kita harus
disyukuri, walaupun dalam keadaan sulit. Supaya bersyukur dalam keadaan
sulit Nabi SAW mengatakan: gKalau kita sedang sulit perhatikan orang yang
lebih sulit dari kitah.

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh. Dalam surat
At-Tahriim ayat 9, 10, dan 11, disebutkan ada tiga tipe pasangan hidup yaitu
: Tipe pertama adalah tipe pasangan Nabi Nuh AS, dimana Nabi Nuh soleh
tetapi istrinya tidak. Tipe pasangan kedua adalah tipe pasangan hidup
Firfaun. Firfaun begitu dholim tetapi istrinya begitu sholeh. Sehingga
istrinya Firfaun tersebut termasuk ke dalam tiga wanita paling soleh,
yaitu Siti Khadijah istri Rasulullah SAW, Siti Maryam ibunya Nabi Isa AS,
dan Siti Asiyah istrinya Firaun. Siti Asiyah ini di dalam surat At-Tahriim
merupakan istri yang telah dijanjikan Allah surga. Tipe pasangan ketiga
adalah tipe pasangan Imran. Imran itu seorang yang soleh, punya istri yang
soleh, punya anak yang bernama Maryam serta punya cucu bernama Nabi Isa AS
yang juga soleh. Jadi keluarga Imran ini, merupakan gambaran keluarga yang
semuanya soleh, selain Imran sendiri soleh, istri, anak, dan cucu juga
orang-orang yang soleh. Sekarang kita tinggal mengevaluasi mengenai pasangan
hidup kita, apakah seperti Nabi Nuh AS, seperti Firaun, ataukah seperti
Imran. Sedikit tambahan mengenai Firfaun. Firfaun itu berkuasa, kaya dan
sombong. Kata Imam Ghazali ada 3 hal yang membuat kita sombong, pertama ilmu
dan kecerdasan. Ilmu dan kecerdasan itu sangat rawan mengantarkan kita
kepada kesombongan, makanya Allah sangat cinta kepada orang-orang yang
berilmu tetapi rendah hati, dan Allah sangat murka kepada orang-orang bodoh
dan takabur. Yang kedua adalah kekuasaan. Sedang yang ketiga adalah
kekayaan. Jadi yang membuat kita sombong itu ialah harta, ilmu dan
kekuasaan. Firaun mempunyai ketiga-tiganya, sehingga dia sombong hingga
mengaku sebagai Tuhan.

Ketiga Ukuran kebaikan dunia itu adalah al auladun abrar, anak yang soleh.
Dicontohkan, di Bandung ada seorang petugas pembersih sampah yang
anak-anaknya sukses. Anak yang pertama kuliah di MIT dan anak yang kedua
sedang co-assistant di Fakultas Kedokteran Unpad. Karena kesuksesan dalam
mendidik anak-anaknya itu banyak orang di sekitarnya yang memujinya. Ini
menunjukkan bahwa anak merupakan ukuran kesuksesan. Bagi yang telah
berkeluarga dan telah dikaruniai titipan anak, perlu pula diingat bahwa kita
selain sebagai orangtua, kita juga adalah sebagai anak. Artinya kita juga
harus menjadi anak yang soleh terhadap orang tua kita. Ada cerita pada saat
Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda
yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya
kepada anak muda itu : Kenapa pundakmu itu ?Jawab anak muda itu : Ya
Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur.
Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya
melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika
istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya. Lalu anak muda itu
bertanya: Ya Rasulullah apakah kalau sudah melakukan itu, apakah aku
termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ? Nabi SAW
sambil memeluk anak muda itu mengatakan: gSungguh Allah ridho kepadamu,
kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta
orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu. Dari Hadist tersebut kita mendapat
gambaran bahwa oleh karena kita tidak mungkin membalas cinta dan kebaikan
orang tua, setidak-tidaknya kita bisa menjadi anak yang soleh. Hal ini
merupakan salah satu cara untuk membahagiakan mereka, karena ukuran
kebahagiaan dunia itu adalah anak yang soleh.

Keempat. Ukuran kebahagiaan dunia itu adalah albiatu sholihah, yaitu
lingkungan yang kondusif untuk iman kita. Yang dimaksud dengan lingkungan
yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya
sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah
terhadap keimanan kita. Komunitas kecil yang soleh itu luar biasa sekali.
Dicontohkan ada mahasiswa yang kuliah di Ummul Qura dan ada mahasiswa yang
kuliah di Sapporo, Jepang sini. Walaupun kedua mahasiswa tersebut soleh,
yang kuliah di sini statusnya bisa jadi lebih soleh daripada yang kuliah di
Ummul Qura karena lingkungan keduanya berbeda. Di Ummul Qura ada
keterbatasan mengenai apa yang bisa dilihat, untuk pergi ke Masjidil Haram
bisa dilakukan tiap hari, untuk melihat video film juga tidak ada, selain
itu majalah yang aneh-aneh juga tidak ada, yang ada hanyalah majalah yang
berbahasa Arab. Makin berat tantangan lingkungan kita tetapi kita mampu
membentuk komunitas yang soleh berarti nilainya Insya Allah lebih tinggi.

Kelima. Ukuran kebahagiaan dunia adalah al malul halal, atau harta yang
halal. Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi
halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.
Sebaliknya, Islam itu menyuruh kaum muslimin menjadi orang kaya Dimana hal
ini tersirat di dalam sabda Rasulullah SAW: Ajarilah anakmu berenang,
berkuda dan memanah. Di dalam sabda Nabi SAW ini tersirat bahwa seorang
muslim harus kaya, tetapi dengan catatan untuk mendapatkannya jangan sampai
menghalalkan segala cara. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh,
Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat
tangan. Kamu berdoa sudah bagus, kata Nabi SAW, Namun sayang makanan,
minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana
doanya dikabulkan. Jadi salah satu penyebab doa tidak dikabulkan adalah
karena ada yang haram. Yang haram itu dibedakan menjadi dua macam, yaitu zat
yang haram dan cara yang haram. Mengenai zat yang haram umumnya kita bisa
meninggalkannya tetapi untuk cara yang haram kadang-kadang masih suka
ditekuni.

Keenam. Tafakuh fi dien. Semangat untuk memahami agama. Jadi kalau kita
bersemangat dalam memahami agama, berarti itu ciri kebahagiaan dunia. Umat
islam itu terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu ada orang yang mengaku
muslim, namun tidak mau mengamalkan Islam apalagi belajar Islam, tetapi
orang itu kalau disebut kafir marah. Kelompok kedua, orang yang mengaku
dirinya muslim, rajin mengamalkan Islam tetapi tidak mau belajar Islam.
Kelompok ketiga, orang yang rajin mengamalkan Islam dan mau belajar Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang baroqah. Umur yang baroqah itu artinya umur yang
semakin tua semakin soleh. Kita semua sebenarnya sedang antri untuk masuk ke
lubang kubur, masalahnya adalah kita tidak tahu kapan kita meninggal. Kalau
menggunakan teori probabilitas kita bisa melihatnya dari tahun kelahiran,
artinya siapa yang lahir lebih dulu besar peluangnya duluan meninggal. Hanya
saja, persoalannya Malakul Maut tidak pernah menggunakan teori probabilitas,
Malakul Maut itu menggunakan teori determinan, atau teori kapling. Contohnya
almarhumah Nike Ardilla, ia meninggal pada usia muda yaitu baru berusia 19
tahun dan sedang di puncak karir. Nike Ardilla meninggal tanpa
disangka-sangka, ia meninggal seketika saat mobil yang dikendarainya
kecelakaan karena bannya pecah. Demikian pula Lady Diana meninggal pada saat
usia 37 tahun lebih 6 bulan. Karena kecelakaan mobil pula. Dari sini kita
ketahui bahwa kematian itu gaib. Sehingga kita perlu merenungkan bahwa kita
itu sesungguhnya mempunyai kapling, hanya saja kita tidak tahu kapling kita
pada umur berapa. Walaupun demikian, kita tidak perlu takut dengan kematian,
yang harus kita khawatirkan itu adalah apa yang kita bawa pada saat kita
mati.

Dalam surat Fushshilat disebutkan bahwa orang meninggal itu ada dua macam,
pertama adalah meninggalnya orang yang soleh. Orang yang soleh itu kalau
rohnya diambil disambut oleh Malaikat Rahmat. Kata Malaikat Rahmat itu :
gala takhafu wa la takhjanu (jangan takut jangan khawatir). Sehingga orang
yang soleh itu jasadnya ingin segera dikuburkan, qodimuni qodimuni, segera
saya kuburkan. Sebaliknya dari meninggalnya orang soleh adalah meninggalnya
orang yang bergelimang dengan maksiat, untuk mengerjakan sholat yang lima
waktu saja tidak sempat, karena berbagai alasan kesibukan. Maka ketika
rohnya lepas dari jasadnya, ia dicaci oleh malaikat azab, sampai ia
berteriak begini rabbirijiun la alli amalu sholihan fima taraqtu, Tuhan
kembalikan roh ke dalam jasad saya agar saya bisa beramal soleh. Kata-kata
ini mencerminkan suatu penyesalan yang abadi

Jadi kalau kita evaluasi sekali lagi ketika kita mengatakan ya Allah berilah
kebahagiaan dunia, menurut Ibnu Abbas indikatornya ada 7 yaitu : hati yang
selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau
lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran
agama, dan umur yang baroqah. Sekali lagi, ketika kita meminta ya Allah
berilah kebahagiaan dunia, sebenarnya kita minta tujuh hal itu. Walaupun
kita akui jarang yang tujuh itu ada di dalam genggaman kita,
setidak-tidaknya kalau kita mendapat enam saja sudah bagus.

Yang menjadi masalah adalah kalau kita tidak mendapat satupun dari ketujuh
indikator kebahagiaan itu. Sedangkan mengenai kebahagiaan akhirat, artinya
sudah jelas yaitu rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi
rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah bagian kecil dari
rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena
rahmat Allah. Amal soleh yang kita lakukan tidak cukup untuk tiket masuk
surga Kata Nabi SAW, : Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukan
kalian ke surga. Lalu para sahabat bertanya: Bagaimana dengan Engkau ya
Rasulullah ?. Jawab Rasulullah SAW:Amal soleh saya juga tidak cukup. Lalu
para sahabat kembali bertanya: gKalau begitu kita masuk surga dengan apa
?Nabi SAW kembali menjawab: Kamu masuk surga itu dengan rahmat dan cinta
Allah.

Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan
untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah
itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin, ATP). Jadi surga
itu adalah bagian dari rahmat.

(Sumber: ceramah Ustad Aam Aminudin, Lc. di Sapporo, disarikan secara bebas
oleh Sdr. Asep Tata Permana)
http://www.achmaddinoto.4t.com/kolomreliji01.htm

Juni 5, 2007 Posted by | @ paviliun | Tinggalkan komentar